The Broken Torigami
Disclaimer: originally made by Rinea Anette™
Warning: sudut pandang orang pertama sebagai pengamat, semi-violonce, abusive content (tapi tidak terlalu kentara, kok)
Northside Country, 1898…
Suara jangkrik samar terdengar dari balik dinding tebal ruangan ini. Ruangan yang terbuat dari berlapis-lapis batu bata berkualitas terbaik ini tidak memiliki sudut—atau kau bisa menyebutnya ruangan melingkar berbentuk seperti menara tinggi. Ya, menara-menara yang seperti pada kisah tuan putri yang sering di baca anak perempuan. Namun ruang isolasi ini tidak menjulang tinggi di luar. Ini adalah ruang tersembunyi di bawah tanah kediaman seorang pejabat luar negeri yang cukup terkenal. Seorang laki-laki rupawan berumur awal empat puluhan—yang memiliki hobi yang menjijikan.
Suara batuk kecil terdengar di salah satu sisi ruangan melingkar yang sempit ini. Aku mengubah fokusku untuk menatap 'anak itu' lebih dalam lagi. Diam-diam, aku menghela nafas berat. Aku yang 'diam' seperti ini merasa sangat tertekan melihat keadaan ini terus-menerus. Bagaimana dengan 'anak itu'? Aku yakin dia pasti jauh lebih menderita daripada aku yang hanya bisa diam melihat.
Uhuk, uhuk—OHOKK!
Aku tersentak dalam diamku. Anak itu mengeluarkan darah setelah batuk nya barusan. Jemari kurusnya terlihat mencengkram erat dadanya. Dia terlihat kesakitan. Lalu tangannya beralih pada bagian lambungnya, menekannya sedikit lebih kuat. Sosok kecil yang kakinya di tekuk itu meringis sakit. Ah, aku ingat. Laki-laki jahanam itu menendang keras lambung anak itu berkali-kali tadi. Tidak heran sekarang ia mengeluarkan darah dari mulutnya. Kali ini, mungkin lambungnya hancur. He—memang bisa, ya, lambung manusia hancur? Maaf, aku tidak tahu. Aku hanyalah torigami biasa yang tergeletak di seberang anak itu.
Erangan kecil keluar dari mulut anak itu. Ah, aku yakin ia mulai kesakitan. Beberapa menit yang lalu—hampir satu jam yang lalu, sih—laki-laki pemiliki mansion ini datang kemari hanya untuk melampiaskan nafsu miringnya yang menjadi rutinitasnya setiap ia pulang dari dinas luar negri. Oh, betapa malangnya negri ini memiliki salah satu budak pemerintah yang memiliki hobi melenceng seperti dia.
Setiap ia pulang dari dinas panjang, ia akan selalu turun ke bawah tanah rumahnya yang sangat besar, membuka pintu besi yang hanya ada di penjara-penjara ibu kota—pintu besi yang tebal yang hanya di gunakan untuk mengurung tahanan isolasi. Lalu, ia mengetukkan sepatu dengan sol terbaiknya di lantai batu yang dingin ini, melangkah pelan namun penuh kepastian—seakan menebar udara penuh ancaman pada tahanan kecil di dalamnya. Menciptakan getaran kengerian pada sendi-sendi di balik rusuk anak tak berdosa itu. Sedangkan aku? Hanya bisa menatap penderitaan anak berumur tujuh tahun itu ketika ia mulai di pukuli dengan brutal dan di cambuki sedemikian rupa.
Flashback
Manusia.
Hah, betapa aku begitu benci pada makhluk Tuhan—yang katanya—paling sempurna itu. Katanya mereka di beri akal dan hati, tapi sejauh yang aku tahu, mereka bahkan tidak memiliki pikiran dan nurani yang cukup untuk memperlakukan benda mati seperti aku dengan baik. Lihat, baru saja sepuluh menit yang lalu mereka 'membeli'ku, membuka segel pembungkusku, mengambil beberapa lembar teman-temanku yang lain—termasuk aku, kini, mereka mengabaikan kami. Tak lama, salah satu di antara kami di renggut dengan kasar dan di cengkram kuat sampai berbentuk buntelan tidak jelas dan berakhir di tempat sampah. Ada yang di robek-robek dengan beringas. Hei, mereka yang kau sobek dan kau lecek-lecek sampai tak berbentuk itu teman-temanku, tahu! Beruntung aku tidak bisa bergerak maupun bicara untuk sekedar menakut-nakutimu, kalau tidak, sudah habis kau akibat pembalasanku! Seenaknya saja membuang kami setelah menghancurkannya terlebih dahulu. Dasar manusia kecil bodoh.
Dan, oh, baru saja aku sibuk mengumpat dalam hati (ingat, aku tidak bisa berbicara, kan?) tentang makhluk bodoh di depanku ini, tangan mungil milik seorang gadis 'gila' yang tadi sibuk menghancurkan teman-temanku itu kini memungutku dengan kasar, meremasnya sekuat tenaga, dan melemparku ke tembok sebelum akhirnya jatuh dengan sukses ke tempat sampah. Tidak, tidak— kalian tak akan bisa bayangkan bagaimana sakitnya aku sekarang. Bagaimana perasaanmu saat mendengar, merasakan kalau tulang-tulang, struktur tubuhmu hancur di remas dengan kuat oleh sesuatu yang besar, lalu terhempas kuat ke dinding yang— ah, sudahlah, lebih baik aku berkonsentrasi untuk menghilangkan rasa nyeri di sekujur tubuhku.
Itu sebabnya aku benci manusia. Manusia yang bodoh. Semua manusia bodoh— ku pikir begitu. Tapi ternyata, Tuhan menakdirkan aku untuk menjadi penonton setia sebuah realita kehidupan yang begitu hitam tak berdasar, yang selama ini tersembunyi di balik kemewahan dunia. Sebuah fenomena yang ku kira selama ini tidak terjadi. Ku pikir, hanya kami—para benda mati dan binatang yang mengalami perlakuan biadab seperti itu. Ku pikir, hanya manusia yang berkuasa di atas dunia ini, yang selalu tertawa menjijikan—menertawai dosa mereka. Tapi ternyata, apa yang kini ada di hadapanku mematahkan sebagian asumsi ku terhadap manusia.
Malam itu angin berhembus sangat kencang. Ini hampir memasuki musim dingin, dan Negara ini terletak di perbatasan laut Arktik. Bisa kau bayangkan betapa menggigitnya tamparan angin saat ini. Aku, 'sampah' kecil yang teronggok begitu saja di depan pagar sebuah mansion, hanya bisa pasrah dan berdoa supaya dewa angin tidak melemparku ke tempat yang aneh-aneh seperti saluran pembuangan atau mangkuk makanan seekor anjing. Dan ajaibnya, dewa angin mengabulkan permintaanku. Aku memang terhempas, terbang terbawa angin sampai cukup jauh dari tempat aku di buang tadi. Kini aku terdampar di pekarangan luas sebuah mansion. Ah, sial… kenapa di sini banyak mansion yang jaraknya berdekatan, sih? Aku tidak mau berurusan dengan anak manusia yang memiliki hobi gila seperti yang tadi membeli ku dari sebuah toko alat tulis di pusat kota!
Cukup lama aku terdiam. Menunggu, walau tidak jelas siapa atau apa yang aku tunggu. Angin kembali melemparku pelan, mendekati pintu belakang mansion yang dinding belakangnya seperti habis di cat ulang. Tepat di bawah kenop pintu, di atas gundukan tangga kecil di bawah pintu belakang itu, tampak seorang anak kecil—laki-laki—yang sedang duduk meringkuk dengan kepala yang di sembunyikan di balik lututnya. Aku dapat melihatnya dengan jelas. Anak bertubuh kurus dan penuh luka memar itu menggigil kedinginan. Sesekali, gemelutuk giginya terdengar di antara suara tiupan angin. Cukup lama aku memandangi sosok kecil itu. Dengan tulang yang tidak di lapisi daging seperti itu, seharusnya anak itu mampu terbawa amukan angin saat ini. Baju rombengnya yang berwarna cokelat kusam berkibar kencang sekali saat angin menampar tubuh anak itu. Batuk kecil—akibat dingin yang menusuk paru-paru—membuyarkan lamunanku.
Hah, seorang budak, pikirku waktu itu. Di zaman ini, khususnya bagian Negara utara, memang banyak anak-anak kecil yang di jadikan budak keluarga bangsawan yang sombong. Hei, bangsawan sejati itu saling menghormati sesama manusia, tahu. Bersikap rendah hati terhadap kekayaan dan kekuasaan yang di miliki. Aku tahu karena pembuatku adalah salah satu anggota keluarga bangsawan terkenal di negeri ini. Ku rasa 'pemilik' anak ini merupakan orang kaya yang sombong. Cih.
Tiba-tiba, kepala anak itu terangkat, dan—apa-apaan warna biru dan ungu yang mewarnai wajah kotornya itu!? Err—maksudku, bukan warna kulitnya yang biru-ungu seperti itu, tapi, banyak sekali memar-memar berwarna biru—bahkan ungu yang menghias wajahnya! Bagian atas matanya membengkak parah, sudut mata dan bibirnya berwarna ungu. Begitu pula dengan keadaan tulang pipinya. Matanya sayu menatap keadaan sekitar, menengok ke kanan dan ke kiri dengan pelan. Lalu matanya menangkapku. Jujur, aku kaget ia tiba-tiba melihatku. Dan aku hanya bisa pasrah dengan nasibku saat ia mulai berjalan dengan terseok-seok—entah ada apa dengan kaki kirinya itu—menghampiriku, dan… memungutku.
Mulutnya yang sedikit terbuka sedari tadi karena luka di bibirnya yang cukup parah mulai mengeluarkan suara. Dengan suara yang sangat kecil—hampir menyerupai bisikan, serak, dan bergetar, ia mengucapkan sesuatu yang sanggup membuat aku seperti—melayang ke awan.
"Bagusnya…"
Hanya satu kata yang sederhana itu, mampu membuat bagian dalam diriku seperti di siram air panas di cuaca sedingin ini. Bahkan pembuatku pun tidak memujiku seperti itu. Anak kecil yang aku yakin nasibnya lebih buruk dariku ini dengan polosnya mengatakan hal itu. Bagian dalamku menghangat, meneteskan sesuatu yang tidak kasat mata yang akhirnya bercampur dengan hujan deras beberapa detik setelahnya.
Flashback off
Sejak saat itu, aku bertekad untuk melindungi anak itu. Aku baru tahu ia bukan sekedar budak di manor house itu. Dari yang aku dengar dari mulut-mulut manusia yang tinggal di dalamnya, anak laki-laki yang memungutku itu murni anak kandung dari nyonya rumah tersebut. Malangnya, kelahiran anak itu tidak di inginkan dan berakhir jadi seperti ini. Ia di jadikan alat pemuas oleh sang kepala keluarga—pemuas nafsu bejadnya yang selama ini tersembunyi di balik topeng nama besar seorang diplomat Negara. Sifatnya yang sok ramah di depan publik itu ternyata mampu membutakan masa akan sifat aslinya bila di rumah.
Sayangnya, meski mulia niatku untuk menolongnya, aku hanyalah seonggok kertas origami berbentuk burung lepek yang teronggok rapi di pojokan ruang bawah tanah—tempat anak itu selama ini tinggal. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri anak itu di pukuli, di hajar seperti orang dewasa menghajar orang dewasa lainnya, dan berbagai macam siksaan tidak masuk akal lainnya. Kenapa anak itu harus di paksa menginjak batu bara panas yang baru saja di angkat dari perapian—hanya untuk di tonton dengan nikmat oleh si bajingan satu itu? Hih, jijik aku melihat sosoknya yang tersenyum puas oleh dosa yang di buatnya. Mentalnya telah lama hancur oleh kata-kata tajam ibunya sendiri. Ku rasa, ia memang benar-benar sudah merasa tersudutkan dengan tempat berdirinya sendiri. Tak mampu lagi berdiri dengan baik, mencoba menantang tembok dingin nan ganas yang ada di sekelilingnya. Ia sudah hancur. Dan keberadaanku sendiri di sini… ku harap dapat membantunya sedikit.
Mungkin akan terdengar aneh, tapi aku menaruh empati besar pada anak itu. Aku menyayanginya yang telah memungut aku, melindungi aku dari cuaca ganas musim dingin dan menyembunyikan aku dengan baik agar tidak di sobek-sobek oleh tangan lain.
Tak lama sehabis ia batuk darah tadi—rupanya batuk darahnya tidak berhenti selama aku melamunkan masa lalu barusan—seperti biasa, kakinya melangkah dengan gemetar—bahkan hampir terjatuh, untuk menghampiriku yang tersembunyi dalam gelap. Tangan ringkih nya gemetar mengambilku dan mengusapnya pelan.
"Kau dingin, ya? Maaf, aku juga dingin dan aku tidak punya selembar selimut untuk menghangatkanmu," ujar anak laki-laki itu dengan parau. Heh, yang seharusnya diselimuti itu kau, tahu! Berhentilah memikirkan aku dan pikirkan tubuhmu sendiri! Lagi-lagi aku hanya bisa menggerutu dalam hati.
"Burung kecil…" ia memanggilku lagi. Aku tidak meresponnya, menunggu kata-katanya selanjutnya. "… aku lelah. Terlalu dingin…" lanjutnya lagi, terdengar seperti igauan. Entah kenapa, aku memiliki firasat buruk tentang ini. Genggamannya semakin melemah sampai aku merasa kalau aku akan jatuh sebentar lagi. Tangannya terasa sangat dingin di tubuhku yang di genggamnya.
Bodoh, bertahanlah sedikit lagi!
Tuhan, betapa inginnya aku meneriakkan kata-kata itu kepadanya. Betapa inginnya aku menyampaikan kata-kata yang dapat menyulut sedikit semangat hidupnya. Menghangatkan hatinya sedikit, menenangkan degupan jantungnya yang selalu di liputi ketakutan itu—walau sedikit.
'Kriiieeet…'
Suara gerakan engsel pintu besi tua itu membuatnya tersentak dan tanpa sengaja menjatuhkan aku. Ia bergegas kembali duduk di tempatnya semula, berusaha berlari dengan terseok-seok tanpa menimbulkan suara. Langkah kaki terdengar menggema di dalam ruang kosong ini. Sinar dari luar yang masuk dari pintu hanya bertahan sebentar, dan ruangan kembali gelap gulita setelah pintu tertutup otomatis.
Drama tragedi itu akan berulang lagi? Dia benar-benar akan membunuh anak ini kali ini.
Namun sesungguhnya, meski bicara begitu, aku benar-benar tidak mengharapkan itu terjadi. Ketika rambut tipisnya di jambak dan kepalanya di hantamkan ke tembok, sungguh, hanya doa yang bisa ku panjatkan pada Nya dalam hati.
Jangan buat dia tersiksa lebih lama lagi.
Angkat di ke surga Mu yang paling indah.
Kalau memang takdirnya belum selesai sampai di sini, jauhkan ia dari yang jahat.
Tuhan,
Sayangi dia yang telah menyayangiku.
Kini, ruangan itu senyap. Tidak terdengar apapun lagi. Sudah beberapa ribu menit terlewat dengan keheningan yang sama. Suara terakhir yang aku dengar dari dalam ruangan ini hanyalah decihan kesal yang di keluarkan oleh si busuk itu, dan ia segera berlalu meninggalkan ruangan ini.
Aku terdiam, merenung. Fokusku beralih pada tempat di mana terakhir kalinya anak itu berada. Tidak ada lagi hembusan nafas berat dan tersendat-sendat, seakan sulit untuk mengeluarkan karbon dioksida di situ. Ruangan ini sangat hening, tidak ada batuk-batuk dan erangan kecil yang menyertainya. Terlalu hening hingga menyadarkan aku tentang keberadaan anak itu yang sudah tidak ada lagi di dunia ini.
Akhirnya Tuhan melepas nyawanya. Tapi, kenapa? Kenapa Tuhan memutuskan agar dia melewati masa-masa sulit terlebih dahulu? Tidakkah Tuhan mencintainya? Dia anak yang sangat baik, tapi kenapa…
Aku seonggok torigami lusuh yang terdiam di pojokan. Menatap tak berdaya terhadap detik-detik sakaratul maut anak itu. Merenungkan kepergiannya. Menangisi jalan hidupnya yang gelap tak berujung, menyesali ketidak berdayaanku. Menyesali takdir yang tidak adil.
Tangisan sedih karena takdir begitu kejam memperlakukannya.
Tangisan bahagia karena ia bersedia memungutku.
Kini, aku hanyalah sebuah torigami lusuh yang hancur. Keberadaanku di dunia ini sudah tidak ada artinya lagi. Ketika dia pergi, jiwaku pun ikut pergi. Ketika dia mati, aku semakin mati.
Semoga, di sana nanti, aku dan dia bisa bertemu. Bisa menyertainya di manapun dia berada, membuatnya tersenyum di manapun dia berada.
Kembali, hanya doa yang dapat ku lantunkan untuknya.
Berikan ia ketenangan dan kebahagiaan abadi di surga sana, amin.
F I N
Sedikit catatan author.
Beberapa adegan terakhir, khususnya bagian doa si torigami, terinspirasi langsung dari autobiography buatan Dave Pelzer yang bercerita tentang kasus penganiayaan juga.
"Dan bebaskanlah aku dari yang jahat. Amin." Dave Pelzer – A Child Called 'It'
No comments:
Post a Comment