Sunday, April 10, 2011

Naruto Fanfiction #1 | Part Two


Aku Selalu Tahu itu, Sakura
A twoshots fanfiction by Bellpoid01
Final Chapter
Disclaimer: Naruto is always belong to Kishimoto Masashi – sensei, even I really want Uchiha Sasuke to be mine -,-
Warning: hm… alternate timeline? Still sets in Konoha, Shinobi War, and etc.



Uchiha Sasuke

Aku terus menatap ke arah tiga anak kecil itu. Tiga Genin yang di mataku terlihat bodoh sekarang. Tertawa bersama, mentertawakan hal yang konyol. Si Dobe masih memperlihatkan cengiran khasnya, Sakura memperlihatkan tawanya yang manis dan lembut. Aku di belakang berjalan santai sambil memperhatikan kedua teman setimku. Aku sendiri terlihat sedang tersenyum menanggapi banyolan konyol Naruto.

Aku ingat, saat itu aku juga sedang berusaha menahan tawa. Aku lupa, kejadian apa yang membuatku merasa segeli itu, untuk pertama kalinya sejak aku menutup hatiku. Aku terus memperhatikan alur mimpiku itu.

Tiba-tiba sekitarku menjadi gelap lagi. Aku terdiam, menunggu apa yang akan muncul lagi.

"Sasuke-kun!"

Sakura.


Pemandangan gelap itu berubah jadi sebuah salah satu jalanan di Konoha, jalan yang dulu juga sering kulewati bersama mereka. Lalu sosok Sakura muncul sedang memutar tubuhnya ke arahku dan memperlihatkan senyumnya yang khas. Tawanya lepas dan ringan. Seakan tidak memiliki beban. Wajah polos seperti anak perempuan yang selalu berbahagia.


Aku menatap dengan ekspresi datar. Jauh di sudut hati ini, aku merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang mengganggu emosiku.


Lalu secara tiba-tiba,
 sekelilingku yang tadinya gelap, kini berubah menjadi potongan dari beberapa… ingatanku. Mulai dari aku kecil. Keluargaku. Saat masih ada Ayah, Ibu, dan Itachi. Kami berempat yang sedang duduk-duduk di teras belakang rumah sambil menikmati teh dan dango buatan Ibu. Kami semua tertawa saat itu. Sungguh pemandangan yang hangat, dan jujur membuatku rindu. Aku tidak akan mungkir. Aku memang merindukan kehangatan keluarga itu, dulu. Dulu, sebelum hati ini termakan oleh kebencian dan dendam.

Tak lama, beberapa potongan ingatanku ketika menjadi genin. Potongan-potongan yang cukup banyak hingga membuat mimpiku terlihat lebih berwarna dari sebelumnya.

Ada Naruto, Kakashi, dan Sakura. Tertawa, seperti kilasan sebelumnya. Suara riang dan ekspresi muka mereka yang menyiratkan kebahagiaan, lagi-lagi menimbulkan perasaan aneh di sudut hatiku. Sungguh mengusik, dan aku tidak suka ini. Rasanya ingin sekali aku akhiri mimpi ini. Namun aku baru sadar. Di antara banyaknya potongan-potongan ingatanku ini, hanya potongan ingatan tentang gadis berambut pink itu saja yang paling banyak. Dan sialnya, ketika aku menyadarinya, wajah dan suara Sakura mulai bergema di kepalaku. Semakin banyak ingatan tentang Sakura yang muncul di sekitarku, hingga membuat semcam dinding yang mengelilingiku.

Apakah aku sebegitu memperhatikannya sampai-sampai banyak sekali refleksinya di mimpiku ini?

Ya… tak pernahkah kau menyadarinya, wahai Uchiha yang naif?

Kau memang selalu memperhatikannya, kan?

Jangan bercanda.

Kau tahu aku benar, Sasuke.

Bisa kurasakan bagian lain dari diriku itu tersenyum penuh kemenangan. Aku menggeram kecil.
Lalu seperti tersapu angin, segala lukisan tentang ingatanku lenyap dan tergantikan oleh dinding hitam seperti ketika pertama kali aku sadar dalam mimpi ini. Aku menunggu. Tak lama, pemandangannya berubah menjadi sosok gadis yang sedari tadi mengganggu pikiranku.

"Sasuke-kun… kumohon jangan pergi!"

.

"Aku akan kesepian kalau tidak ada Sasuke-kun."

.

"Aku sangat menyukai Sasuke-kun!"

.

Ah… ingatan ketika aku meninggalkan Konoha. Aku ingat Sakura menangis hebat. Aku memang tidak pernah lupa. Aku tidak bisa melupakannya.

"Sasuke-kun…" aku membalikkan badan. Sakura. Dia sedang berdiri di tepi jendela kamarnya. Rambutnya yang pendek bergerak ringan sesuai arah angin. Matanya menatap lurus ke depan. Tersirat makna ketegaran di dalamnya. Sorotnya penuh keyakinan, seakan siap untuk menantang apa yang ada di hadapannya. Tapi emerald itu juga terlihat rapuh.

"Sasuke-kun, aku yakin, kau pasti akan pulang ke Konoha. Kau akan kembali kepada kami." Bisik Sakura dengan suara parau. Matanya tetap memandang rembulan yang menggantung di atas sana. Aku hanya bisa menatapnya.

Yang ada di hadapanku sekarang ialah Sakura yang sekarang, bukan Sakura si gadis lemah dan cengeng. Aku bingung. Aku belum pernah melihatnya seperti ini, maksudku, aku tidak memiliki ingatan tentang pemandangan di hadapanku sekarang. Bagaimana Sakura bisa muncul dengan kejadian yang tidak pernah aku lihat sebelumnya?

Kulihat Sakura sedang mengusap lembut permukaan sebuah bingkai foto. Aku tertegun. Hal lain yang aku tinggalkan.

Foto kami bertiga.

"Aku yakin kau akan pulang. Aku yakin kau pasti kembali kepada kami," jarinya kini menggenggam erat bingkai itu. Matanya basah.

"Dan aku akan selalu menunggumu, Sasuke-kun. Karena aku…" Lanjutnya dengan tenggorokan tercekat. Kurasa ia tidak berubah, ia tetap seorang perempuan yang cengeng. Lihat, ia menangis.

Mungkin juga tidak.

Sorot emerald itu menguat, dan sebuah senyum mulai terkembang di bibirnya.

Semua kembali menggelap, lalu tergantikan sebuah cahaya hangat yang menusuk mataku. Aku terjaga dari alam mimpi dan mendapati sinar matahari sedang menyelimutiku.

"Mimpi…"



'Tring!'

Suara besi tajam beradu. Kilatan mata penuh keseriusan terpancar dari Onyx dan Emerald yang sedang saling menyerang itu. Tidak peduli sudah berapa banyak goresan luka pada tubuh mereka, hanya satu yang ada di pikiran mereka. Dibunuh atau membunuh.

Benarkah begitu?

Kita semua tidak yakin bukan, saat menyaksikan gadis berambut merah muda itu menghantamkan sebuah tinju mematikan ke arah pemuda raven yang menjadi cinta matinya seumur hidup? Ia menusukkan kunai beracun pada orang yang dicintanya, menghantamnya dengan jurus andalannya, yang berarti sama dengan membunuh dirinya sendiri. Berkali-kali begitu.

Begitu pula Sasuke. Setelah sadar dari lamunannya tentang mimpinya beberapa waktu lalu, ia tidak bisa melepaskan pandangannya dari Sakura, gadis yang sedang berhadapan dengannya ini. Tubuhnya refleks menyerang, menangkis, dan bertahan dari serangan bertubi-tubi Sakura, namun konsentrasinya sebagian besar justru tertuju kepada gadis itu. Gadis yang telah dewasa. Gadis yang berbeda, atau tetap sama seperti lima tahun silam?

Kusanagi dan kunai saling beradu, saling menekan, dan akhirnya membuat sang petarung mundur beberapa meter dari titik temu keduanya tadi. Sakura terengah-engah. Ia merasa paru-parunya akan meledak, persis ketika ia disuruh berlari belasan kilometer tanpa istirahat. Tangan kirinya menekan pahanya, menopang tubuhnya yang kelelahan. Sedangkan Sasuke? Ia hanya membalikkan kusanaginya dan memasukan pedang itu ke dalam sarungnya. Wajahnya masih terlihat datar, namun kadar kepucatan di wajahnya bertambah. Tentu saja, sudah dua kali ia terkena goresan kunai beracun Sakura. Sakura sendiri heran, ia bisa menahan Sasuke sejauh ini, bahkan berhasil melukainya dengan racun yang ia racik sendiri.

"Ada apa Sasuke-kun? Kau berencana mengalah, hah?" Sakura kembali mematikan hatinya saat berbicara dengan nada sinis kepada Sasuke. Sasuke masih saja menatapnya datar, seperti sedang meremehkan gadis pink di depannya.

"Kau munafik, Sakura." Entah apa yang mendorongnya bicara seperti itu. Oh, tentu sudah jelas apa, yaitu kilasan mimpinya tadi. Sakura terlihat tersentak di mata onyx kelamnya.

Emerald dan onyx bertemu, saling pandang, saling menyelami.

Mungkin, sejak awal mereka bertemu di medan perang ini, tidak ada satupun yang berniat untuk saling membunuh. Keduanya kini terdiam, tenggelam dalam sensasi onyx dan emerald masing-masing.

'Set.'

Dengan halus dan kecepatan luar biasa, Sasuke berpindah tempat dan kini berada di balik punggung gadis itu. Sakura jelas tersentak, namun ia bahkan tidak berusaha melawan. Saat ini ia sedang sibuk menahan kakinya yang gemetar agar tidak kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh.

Namun, tidak ada hal buruk terjadi. Sasuke tetap berdiri diam di belakang Sakura, dengan pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Hanya menatap Sakura dengan datar.

Tidak ada hawa membunuh yang besar, bahkan sejak pertama kali kami saling mengadu senjata, gumam kunoichi pink itu dalam hati.

Lucu. Tidak ada yang mengeluarkan reaksi berarti sejak itu. Keduanya terus terdiam dan tidak melakukan apa-apa. Baik Sasuke dan Sakura sebenarnya ingin mentertawakan keadaan bodoh mereka ini, namun otak mereka tidak bekerja dengan baik.

Mereka hanya ingin… seperti ini sedikit lebih lama lagi. Sebelum… Sebelum semuanya menjadi lebih buruk.

"Mengapa kau menyerang Konoha, Sasuke-kun?" akhirnya Sakura memilih untuk berbicara, meskipun ia tahu, mungkin pertanyaannya akan membawanya pada ronde kedua pertarungan mereka. Ia bahkan sudah mampu menggerakkan kakinya dan memutar tubuhnya untuk memandang langsung Uchiha yang sangat menawan itu.

Sasuke hanya—dan masih—memandang Sakura dengan tatapan dingin tak berarti. Ia tidak berniat membuka mulutnya sedikitpun untuk menjawabnya. Entahlah, di hadapan gadis itu, ia merasa tidak bisa menjelaskan apa alasannya menyerang Konoha. Ia kehilangan kata-kata di depan Sakura. Pikiran, juga emosinya seperti sedang terusik.

"Kenapa kau… berniat membunuh kami semua? Apakah warga Konoha yang lain memiliki dosa kepadamu sehingga kau berniat menghabisi seluruh isi desa ini, Sasuke-kun?"

Nafasnya menderu. Nafas gadis itu menderu seiring diucapkannya kata-kata penuh sarkasme tadi. Berusaha mati-matian untuk tidak terlihat cengeng di mata Sasuke-nya, padahal hatinya begitu sakit menghadapi kenyataan ini.

Sasuke. Sasuke yang notabane adalah rekan satu tim nya dulu. Satu-satunya orang yang di cintainya. Kini berbalik menyerangnya, berusaha merenggut semua yang berharga bagi Sakura.

"Tidak ada yang perlu kauketahui." Ujar pemuda itu singkat. Suara terdengar berat dan seperti berteriak pada Sakura dalam jarak sedekat ini. Di balik punggungnya, ia menarik kembali sang kusanagi dan mengacungkannya tingg-tinggi. Ujung bilahnya memantulkan dua insan yang masih terpaku pada bayangannya masing-masing.

"Matilah Sakura."

Seperti sebuah permainan atau pertunjukan drama, Sakura dapat merasakan waktu di sekitar mereka melambat. Ia sadar sulit sekali melepaskan diri jika matanya sudah terjebak di dalam kuasa onyx di depannya.
Ia tahu kusanagi itu hanya tinggal beberapa senti lagi sampai menembus punggungnya, tapi ia masih belum bisa melepaskan diri dari Sasuke. sekadar bernafas pun, Sakura tidak yakin ia dapat melakukannya dengan baik. Semua terasa lambat dan mata Sasuke masih menahannya di sana.

Mungkin itu Tsukiyomi—genjutsu yang mampu menaklukan lawan hanya dengan pandangan mata—tapi Sakura tak melihat obsidian itu berubah menjadi lautan darah.






Bukan. Bukan begitu. Sakuralah yang tidak ingin melepaskan diri dari sana. Ialah yang tidak ingin melepaskan mata itu lagi. Hanya itu—hanya dengan menatapnya saja, sudut hati Sakura sudah merasa seperti memiliki pemuda itu lagi.

Kami sama, aku mencintainya. Aku sangat mencintainya. Kami sama...

Dinginnya kusanagi terasa di permukaan kulit punggung Sakura. Sasuke masih menatap Sakura, lamat-lamat. Mata itu seakan menelan Sakura bulat-bulat, merengkuhnya, dan menahannya di sana.

Aku terlalu mencintai pemuda ini.

"Aku akan melindungi Konoha, Sasuke-kun."

Dua gerakan dalam satu detik, Sakura mengubah posisi mereka. Kunai penuh racun di tangannya telah menempel di kulit tengkuk Sasuke. "Lakukan apa yang kaumau, tapi—" Sakura menahan kata-katanya, menegak ludahnya sendiri karena tenggorokannya terasa sangat kering. "—aku, Naruto, Kakashi-sensei, dan semua warga Konoha tidak akan membiarkanmu."

'Zrat!'

Terdengar bunyi gesekan sepatu dengan tanah yang kasar ketika Sakura melompat mundur tiba-tiba. Tangan kirinya memegang erat kaus bagian depannya yang terlihat sobek melintang, dan tak lama membuncahkan cairan merah kental dari dalamnya. Sakura mengerang pelan sebelum ia kembali melompat mundur untuk menghindari serangan Sasuke.

Bilah pedang milik Sasuke tampak kelaparan ketika memburu tubuh Sakura untuk dicincang. Sasuke dan Sakura terus-terusan melompat-lompat dan berpindah tempat. Mengejar dan menghindar. Sial bagi Sakura, ia tidak sempat menusukkan kunainya pada leher Sasuke tadi karena pemuda itu lebih cepat menyerang balik daripada dugaannya.

Tidak sampai tiga menit sejak isi perut Sakura hampir terburai keluar, gadis itu terjatuh pada pijakannya di salah satu atap rumah penduduk. Sasuke tidak melepaskan kesempatan itu. Ia sudah cukup membuang waktu hanya untuk meladeni gadis di depannya dan masih harus membunuh Hokage. Naruto adalah penutup invasinya ke Konoha.

Wajah itu seputih kertas. Sasuke bahkan sangsi kalau aliran darah pernah melewati pembuluh di tubuhnya. Bukan hanya wajah, tapi juga sekujur tubuh Sakura memutih seperti kertas. Bulir keringat sebesar jagung membasahi wajahnya yang tampak setengah sadar, menahan sakit. Tidak ada ketegapan dalam bahunya karena kini bahu itu terkulai lemas.

"Sa…"

Sasuke masih terdiam, menunggu kata-kata terakhir Sakura meluncur dari bibir pucatnya.

"Sa..suke… kun…"

Setitik air mata keluar dari ujung lengkungan yang sedang terpejam, perlahan mengalir menuju pipinya hingga melewati rahangnya. Ia menangis dengan sangat pelan sedangkan di atasnya, Sasuke tetap memandang bengis dan dingin, seakan ia akan membunuh seekor binatang pengganggu.

Kepala yang terkulai lemah itu berusaha mendongak. Kelopak mata yang terpejam tadi terbuka dan memperlihatkan iris hijau yang tak bersinar hangat seperti biasa. Mereka bertemu pandang lagi. Sakura tahu, ini adalah kekuatan terakhirnya. Satu-satunya kekuatannya yang tersisa, ia pergunakan untuk menyimpan sosok itu dalam ingatannya, meskipun ia tidak berhasil mendapatkan kembali Sasuke-nya yang dulu. Sasuke yang berdiri di depannya sekarang adalah Sasuke yang sedingin es di kutub selatan sana, yang ingin menghancurkan desa kelahirannya sendiri—membunuh teman-temannya sendiri. tapi ia tetap ingin mengenang semuanya. Semua yang bisa ia lihat dari Sasuke. semua yang ada pada sosok yang dicintainya.

Aah, seandainya tidak ada kebencian pada sosok itu…

"Selamat tinggal, Sakura."
.

.

.

Sebagai seorang shinobi, ia bahagia bisa mati demi melindungi desanya. Sebagai seorang wanita, ia bahagia saat-saat terakhirnya adalah bersama dengan orang yang paling dicintainya.

Sebagai seorang Haruno Sakura, ia bahagia bisa melindungi Konoha.

Sebagai seorang Haruno Sakura, ia bahagia bisa menjadi lawan bertarung Uchiha Sasuke seberapapun ia mencintai pemuda itu.

Sebagai seorang Haruno Sakura, ia tidak menyesal mati di tangan Uchiha Sasuke.

.


.

.

Tubuh itu tidak lagi pucat kebiruan dengan mengerikannya. Ada liquid merah yang mengalir membasahi tubuh itu bersamaan dengan air hujan, memberi warna lain pada kulitnya. Wajah itu semakin memutih karena dingin.

Ke mana rona merah yang selalu menghias pipinya setiap berhadapan denganku?

Tubuh itu terbaring tak berdaya, penuh luka, darah, dan mulai membiru.

Ke mana sosok lincah yang selalu berada di sekelilingku dan mengajakku bermain?

Bibir itu terkatup dan membantuk garis datar, tidak melengkung indah dan berwarna merah muda seperti dulu.

Ke mana senyuman yang selalu diberikan padaku itu?

Tubuh itu tergolek kaku. Tidak ada suara kehidupan dari dalam sana.

Mana suaranya? Mana suara cengeng, manja, dan tegar yang selalu memanggilku?

Mana matanya? Kenapa tertutup? Mana warna hijau itu? Mana kehangatanmu?

Hei,

Kau bukan Sakura.

Kau bukan Sakura yang kukenal.

Sakura tidak mungkin sepucat ini.

Sakura.

Tidak mungkin.

Mati.

.

.

.

"Hei, Naruto,"

Sasuke bangkit dari posisi setengah berlututnya dan menengadahkan kepala. Ia membiarkan wajahnya disiram guyuran hujan. Ia dapat merasakan sekelilingnya berwarna abu-abu. Sepi sekali jalan itu. Hanya ada suara guyuran hujan yang menghantam tanah Konoha.

Dan suara langkah orang yang terseok.

"Kenapa setiap mereka meninggalkan dunia ini, hujan selalu turun seakan menghakimi aku?"

Tidak ada sahutan. Sosok yang terseok itu tetap melangkah dengan ragu namun pasti ke arah jasad yang tergeletak di pinggir jalan. Rambut merah muda miliknya tersebar di tanah, membingkai kepalanya.

Sosok dengan jubah marun itu menggeram. Ia tidak dapat mengontrol dirinya sekarang. Bias kemerahan mulai mengelilingi tubuhnya dan taring berukuran besar mulai muncul dari celah giginya. Siluet rubah raksasa mulai menjadi nyata dan teriakan penuh kemarahan, kekecewaan, kesedihan, kepahitan menjadi satu dan menggelegar di angkasa, mengalahkan suara guntur.

"SASUKEEEEEEEE!!!!!!!"



lima tahun yang lalu…

"Aku sangat menyukai Sasuke-kun sampai tidak bisa mengentikan diriku sendiri!"

"…Sakura, terimakasih."



lima menit yang lalu…


"Sa..suke.. kun…"

Aku selalu mencintaimu, Sasuke-kun.

Kusanagi diayunkan, seiring pemuda itu membalas suara hati sang gadis.

Aku selalu mengetahuinya, Sakura.


TAMAT


No comments:

Post a Comment